Dua Puluh Empat Desember

Dua Puluh Empat Desember

Cahaya Padma Putri Ramdan XI.1

 

Aku meninggal pada 24 Desember.

Ironis, bukan? Nyawaku dicabut pada malam dimana aku seharusnya menikmati himne Natal bersama orang yang aku sayangi. Malam penuh gumpalan salju yang merintik sedu. Aku masih ingat bagaimana salju dengan indahnya menyelimuti jalan setapak Shibuya, pusat perbelanjaan Tokyo, yang padat akan pengunjung, tahun lalu. Aku juga ingat bagaimana bulu matamu merona senada dengan butiran salju yang terus-menerus menghujami rambut putihmu.

Sang Bayu begitu kejamnya tertiup. Aku masih ingat bagaimana tulangku serasa dibekukan hidup-hidup karenanya. Syal merahku berterbangan, bahkan dua lapis sarung tangan yang kukenakan diperlakukan bak angin lewat oleh dinginnya Natal tahun itu. Kucibirkan bibirku kesal, dengan kedua lenganku mendekap diriku sendiri. Tuhan, aku ingat merasa ingin cepat-cepat menginjakkan kaki masuk ke dalam rumah. Sudah kubilang, aku tak ingin keluar malam itu.

Kemudian, kau tertawa. Senyum lebarmu menyungging deretan gigi seputih susu, sama indahnya dengan deretan gemerlap warna-warni yang menghiasi setiap sudut Shibuya malam itu. Hiruk-pikuk yang mengerumuni pohon Natal besar di pusat Shibuya begitu padat. Pohon Natal yang membuatmu menyeretku keluar asrama hanya dengan pakaian seadanya. Dengan kecupan bintang raksasa di puncaknya, pohon berbentuk kerucut itu dihiasi berbagai macam ornamen dari berbagai warna dan bentuk. Sebuah kaus kaki santa berukuran besar, bola-bola emas raksasa, lampion merah dan kuning, hingga lampu yang berganti warna tiap jantungku berdetak. Aku pada akhirnya paham mengapa kau begitu antusiasnya menyeretku kemari.

Tepat di pusat Shibuya, kau menggenggam tanganku di bawah kerlipan pohon Natal dan salju. Menghiraukan hiruk pikuk yang tak kalah ributnya dengan jantungku yang berdegup tak karuan kala itu.

Syal merah yang nyaris dipakai semua orang, lampu oranye yang menggantung di tepi-tepi trotoar, tas hijau bercorak pohon Natal yang didekap pejalan kaki yang berlalu lalang, mantel krem milik pasangan yang sedang merajut mesra, topi ungu milik remaja berusia belia yang berlarian di atas salju, lampu merah dan hijau yang berkelip di jalan raya yang padat oleh pejalan kaki, ditambah deret demi deret bangunan pencakar langit yang tengah memamerkan sinar terbaiknya. Sebuah gambar kopi panas, kemudian sebuah diskon syal di detik berikutnya. Begitu cepatnya, bak siluet yang datang dan pergi di degupan jantung berikutnya.

Kemudian, ada kamu.

Seputih salju, semuanya tentangmu begitu putih. Rambut konyolmu yang entah sejak kapan sudah terlilit kesana dan kemari, bulu matamu yang mengepak bak sayap merpati tiap kali mata anehmu itu membuka dan menutup, bahkan syalmu kala itu juga berwarna putih. “Mana ada orang yang pakai syal Natal warna putih!” ujarku kala itu. Kalau saja kutahu kau sengaja menukar syal putih milikku dengan syal merahmu, mungkin aku takkan berkata demikian.

 

Natal begitu dingin. Warna putih identik dengan dingin, dan salju merealisasikannya semudah membalikkan telapak tangan. Orang berlalu-lalang menggunakan lapis demi lapis pakaian tebal, seolah nyawa mereka bergantung pada lapisan kain itu. Aku, pun, demikian. Satu-satunya hal yang hangat kala itu adalah lampu oranye yang menguar di balik gelapnya malam, dan juga, tanganku yang kau genggam.

Cinta remaja, pikirku. Menyelinap keluar di malam Natal, merajut mesra di bawah rintik salju.

Kau menggenggam tanganku seolah nyawamu bergantung akannya. Pilihan apa yang kupunya selain menggenggamu balik? “Apa kau hanya sekadar kedinginan, atau benar-benar ingin menggenggamku?” Aku ingat kalimat konyol itu sudah berada di ujung lidahku kala itu.

Kemudian, kau tersenyum. Di tengah jalan, di antara hiruk pikuk yang memekakan telinga, dengan tanganmu terlilit di genggaman tanganku. Kita berdua menatap ke arah pohon Natal besar di tengah jalanan Shibuya malam itu, tanpa sepatah kata pun terucap. Malam itu, tak ada satu pun bintang yang menampakkan dirinya. Namun mungkin, bisa kubilang, kerlipan lampu yang menghiasi pohon Natal kala itu bisa menjadi saksi bisu kami berdua. Saksi dari masa-masa remaja kami yang dilukis oleh jantung yang berdebar.

Aku tak ingin pergi dengan begitu banyak penyesalan. Kalau aku tak memutuskan untuk melangkah pergi darimu hari itu, mungkin aku masih bisa menggenggam tanganmu di bawah rintik salju sedu ini. Aku tersenyum pahit, mentertawakan diri sialku yang mereggang nyawa ini. Lengan kananku bersimbah darah, aku tak bisa merasakan tanganku sesikitpun. Di balik gang kecil dimana Sang Surya enggan menunjukkan anugerahnya, aku menyeret kaki pincangku menjauhi bau anyir darah yang menguar di belakangku.

Sebuah figur yang menghadangku menghentikan langkahku. Sebuah figur familiar yang kukenal semudah membalikkan kedua telapak tanganku. Seolah tiap inci lekuk tubuhnya telah tertanam di alam bawah sadarku, hingga mengenalnya seolah menjadi habitat keduaku.

Meninggalkanmu tak pernah menjadi hal mudah bagiku. Dulu, atau bahkan kini sekalipun. Senyum manismu, sentuhan lembutmu, dan bahkan omongan konyolmu, tak jera-jeranya menghantui mimpiku. Aku menghabiskan soreku menatap angkasa, membayangkan kata apa yang akan terucap dari belah bibirku jika aku bertemu denganmu kembali. Namun, kini saat aku kembali meraih sosokmu, aku tak tahu harus berkata apa.

Aku hanya tertawa. Kugenggam semakin erat lengan kananku yang berdenyut nyeri dikala kedua mata kita bertemu. Sepasang mata biru sedalam laut yang kudamba-dambakan semenjak kau tak lagi berada di sisiku. Terkadang, aku mengutuk diriku untuk tak berlarut-larut di dalam sepasang bola mata biru. Kalau saja kutahu, langit dan laut akan selalu mengingatkanku akan dirimu, aku akan menghabiskan waktu lebih lama menatap dalamnya mata lautmu itu.

Mungkin, menatap birunya matamu dan lugunya salju pertama di Desember di detik-detik terakhirku, bukanlah akhir yang buruk untuk diriku yang telah lama mendamba diriku ini.

Maaf, kuingin berucap. Namun nampaknya, kata itu terjebak di tenggorokanku. Bahkan hingga nafas terakhir pergi dariku.

Leave a comment