Galliop

Galliop

Karya Vincent Junio Ibrahim 12.1

Terduduk seorang pria paruh baya pada sebuah sofa di tepi hujan. Terdiam sejenak ditemani secangkir kopi kosong pada ruangan gelap. Ia tidak memiliki apa pun untuk dipikirkan, semuanya telah lama runtuh bersama dengan satu-satunya hal yang ingin ia lindungi.

Pecahan memori terlintas dari wajah buram dengan janggut acak-acakan dan tak terawat. Menatap ke lantai berdebu berantakan dengan kardus yang lembab dengan rintikan hujan membasahi ruangan.

Suara ketukan pintu lapuk terdengar jelas, tetapi tidak ada jawaban dari pria tersebut. “Alfred! Aku tahu kau ada di dalam!” Ketukan pintu semakin mengeras diiringi hantaman yang lama-kelamaan mulai menganggu Alfred.

“Siapa kau!?” bentak Alfred sembari berdiri dari sofa.

Orang itu mengetuk lagi. Suaranya seperti seorang perempuan yang pernah ia kenali, tetapi ia sudah lupa akan itu setelah bertahun-tahun tidak menemuinya. Alfred menginjakkan kaki telanjang pada lantai bersuara kayu dengan keras hingga tiang-tiang sekitar mulai berguncang.

Alfred meraih gagang dan membukanya paksa. Tiba-tiba, mata surut kegelapan itu melebar dipenuhi dengan kilatan cahaya sesaat bersamaan dengan suara keras yang nyaris memekikan telinganya.

Sosok perempuan berkacamata hitam berdiri di tengah hujan deras yang menimpa tempat dia berada. Memegangi sebuah payung di tangan, dia menatap diam sosok Alfred yang membeku di tempat.

“Lisbeth! Apa yang kau lakukan di tempat ini?”

Lisbeth menutup payung yang dia gunakan. “Sudah lima tahun kita tidak bertemu bukan, Kakak?” Lisbeth berjalan masuk ke dalam rumah.

Lisbeth berbalik menghadapnya. “Sawahmu kebanjiran. Apa kau akan melakukan sesuatu terhadap itu?”

“Aku tidak dalam kondisi untuk melakukan apa pun hari ini.” “Apa itu tentang ‘dia’?” tanya Lisbeth

“Dia telah pergi ke atas sana, tempat yang tidak dapat kugapai.”

Alfred berjalan menuju sofanya. Langkah yang ia keluarkan sekarang tidak dapat menimbulkan adanya suara atau pun guncangan pada dinding rumahnya. Secara mendadak, tetesan air keluar dari mata jatuh diserap lantai berlubang.

“Aku mengerti. Kepergiannya tentu telah membuatmu terpukul. Aku minta maaf atas kepergianmu,” jawab Lisbeth menunduk kepadanya.

“Aku telah gagal menjadi seorang suami. Istriku meninggal akibat tidak mampunya aku menghadapi penyakit yang dideritanya. Ditambahi dengan kondisi tempat ini yang tidak layak, membuatnya meninggalkanku dengan putriku.”

Kerja keras telah dikeluarkan sebanyak mungkin, tetapi itu sama sekali tidak memberikan hasil kepada Alfred. Segala yang ia lakukan sama sekali tidak membuahkannya hasil hingga ia merasa melindungi sawahnya sudah tidak memiliki arti lagi.

Lisbeth berucap, “Setidaknya kau masih punya rumahmu dengan tanah atas namamu sendiri. Aku rasa tempat ini layak untuk ditinggal—“

Alfred memukul dinding seng rumah. Getaran akibat pukulannya merambat hingga membunyikan atap. “Tempat ini layak untuk ditinggali? Lihatlah tempat ini! Apakah ini memang layak ditinggali?!”

Suara rintikan hujan menghajar genting seng yang menutupi rumah ini. Lisbeth menunggu jawaban lanjutan dari Alfred, tetapi jawaban itu tidak kunjung datang. Sembari mengurungkan pandangan dari atas, dia kembali menatap Alfred. “Aku rasa tidak.”

“Aku bahkan gagal menjadi seorang ayah.”

“Anakmu juga tidak selamat. Kau kehilangan kedua harta berharga dalam hidupmu secepat kedipan matamu sendiri. Kau tidak dapat menggapainya, atau pun mengejar salah satu dari mereka,” jelas Lisbeth.

“Dari tadi kau terus saja tahu apa yang sedang kualami. Dan juga, kau masih belum memberitahu tujuanmu datang ke sini.”

“Aku punya lokasi pembunuh anakmu.”

Tatapan penuh tangis buram ditemani rintikan hujan itu mendadak mengeluarkan percikan cahaya putih. Seluruh tubuh tua muliknya bergerak secepat masa-masa ia masih muda. “Kau bilang apa?!” Mata Alfred menatap tajam Lisbeth.

Lisbeth mengangkat sebuah dokumen berisi beberapa nama dan foto pelaku. “Aku sekarang bekerja sebagai pihak agensi di bawah nama pemerintah. Seharusnya tempatku bukanlah di sini, tetapi aku ingin membantumu atas nama keluarga kita. Namun, itu tergantung kepadamu jika kau ingin membalasnya atau pun tidak. Hanya ini lah yang dapat kubantu kepadamu Kak. Sisanya ada padamu.”

“Aku …,” jawab Alfred.

***

Pecahan darah memercik permukaan beton keras pada sebuah kios kosong yang diselimuti dengan derasnya hujan serta hadirnya petir di tempat tersebut. Beberapa orang anak terjatuh tidak sadarkan diri di permukaan lantai dengan berbagai luka sayatan

kecil di beberapa bagian dari tubuh mereka.

“Tolong … mohon ampun!” teriak seorang anak berambut pirang, berpotensi dicat untuk kelihatan menyeramkan. Namun, itu sama sekali tidak membuat Alfred goyah untuk mengintimidasi anak itu dengan celuritnya.

“Bagaimana seorang petani bisa … selincah ini?” keluh anak pirang tersebut.

“Apa kau kira seorang petani dulunya tidak wajib tempur? Apa penampilan luarku memberi kalian semua keberanian yang sok untuk menghadapiku? Apa kau tidak merasa bersalah setelah apa yang kalian lakukan terhadap putriku!” Alfred berteriak kepadanya.

“Siapa yang … tunggu, kau!” Sebuah pisau celurit nyaris memenggal kepala anak pirang tersebut.

“Putriku! Kalian menjauhkannya dariku. Kalian permainkan dia dan kalian tinggalkan membusuk di tengah jalan. Apa kau kira aku akan membiarkan kalian seperti itu saja? Aku sudah kenal wajah kalian. Sehingga apa yang kau kira akan kulakukan sekarang?” tanya Alfred.

“Aku … akan memanggil polisi dan mengatakan bahwa kau sedang melakukan percobaan pembunuhan,” ancam anak itu.

“Polisi? Apa kau kira aku akan takut dengan gertakan kalian? Kalian sudah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Kalau aku? Tidak, aku masih belum melakukannya. Lagipula, kau tidak akan bisa berbicara jika pisau ini telah membelah leher kalian semua di tempat ini.” Celurit itu diangkat dan ditempatkan sangat dekat di leher anak itu.

Mendengar ucapan dari Alfred, anak itu gemetaran disertai dengan jeritan dari pisau yang menggenai lehernya, matanya ditutup takut. Melihat segala yang terjadi, Alfred berpikir ulang di dalam dirinya.

“Tidak … aku tidak akan melakukannya.” Alfred mengangkat pisau celurit dari hadapan anak pirang itu.

Mata yang ketakutan itu dibuka pelan, kebingungan dengan keputusan Alfred. “Putriku tidak ingin aku menjadi seorang pembunuh. Kau telah membunuh anakku,

tetapi bukan berarti aku harus sama seperti kalian semua. Jika tidak, apa bedanya aku dengan kalian semua? Sekarang berikan ponselmu”

“Apa?” tanya anak pirang kebingungan.

“Ponselmu!” bentak Alfred yang membuat anak pirang itu langsung memberikan ponsel miliknya.

***

 

Dua nisan diamati oleh Alfred yang tengah berjongkok memegangi salah satunya.

Terdiam sejenak, ia dihampiri oleh Lisbeth.

“Pada akhirnya, kau tidak jadi membalas mereka?”

“Tidak apa-apa. Walaupun aku tidak membalas mereka atas kematian putriku, aku bahagia jika aku masih menjadi seorang ayah terbaik baginya.”

“Aku mengerti.”

Alfred mengangkat cangkul di belakang pundak. “Baiklah, saatnya kembali membajak sawah kita bertiga.”

Leave a comment